KENAKALAN REMAJA SEBAGAI
PERILAKU MENYIMPANG HUBUNGANNYA DENGAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL KELUARGA
IRSAN
13 402 012
Tugas Fynal Mata Kuliah Metode
Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan.
PRODI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR MAKASSAR
2017
Abstrak
Masalah
sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah
kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan
pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual, individu sebagai satuan
pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk pendekatan sistem, individu
sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem sebagai sumber masalah. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ternyata ada hubungan negative
antara kenakalan remaja dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin
meningkatnya keberfungsian sosial sebuah keluarga dalam melaksanakan
tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah tingkat
kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah. Di samping
itu penggunaan waktu luang yang tidak terarah merupakan sebab yang sangat
dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku menyimpang.
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Kenakalan
remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku
menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi
karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial
ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat
dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem
sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna
bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui
jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk
mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku
menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si
pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang
menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal
yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang
melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan.
Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan
untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk
berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti
mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada
kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab
orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk
menyimpang.
Masalah
sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa
melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan
individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi,
perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil
dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di
kalangan anak dan remaja (Kauffman , 1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku
menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku
disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak
layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari
transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya.
Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari
transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.
Proses
sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan
menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi
kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan
pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan
kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat
yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai
karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan tingkat kriminalitas
yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah kota
yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat
kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil.
Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Pondok Pinang
Jakarta Selatan tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland
dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal
melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka
seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan
nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk
menumbuhkan tindakan kriminal.
Mengenai
pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang
bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial
sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat
menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami
gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan
mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan
terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang
disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan
surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku
menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang
biasa dan wajar.
II. TUJUAN
PENELITIAN
1. Mengidentifkasi dan memberikan gambaran
bentuk-bentuk kenakalan
yang
dilakukan remaja di Kota Makassar
2. Untuk mengetahui hubungaanan antara
kenakalan remaja dengan
keberfungsian
sosial keluarga
3.
Penelitian ini ingin memberikan sumbangan bagi pemecahan masalah
kenakalan remaja dengan
memanfaatkan keluarga sebagai basis dalam
pemecahan masalah.
III. METODE PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pemilihan metode
ini karena penelitian yang dilakukan ingin mempelajari masalah-masalah dalam
suatu masyarakat, juga hubungan antar fenomena, dan membuat gambaran mengenai
situasi atau kejadian yang ada.
Cara
pemilihan sampel yang dilakukan pertama memilih wilayah yang mempunyai kategori
miskin, dengan cara melihat kondisi mereka yang perumahannya di bawah standar,
dengan kondisi penduduk yang sangat padat, lingkungan yang tidak teratur dan
perkiraan tingkat kesehatan masyarakatnya yang buruk. Setelah itu konsultasi
dengan ketua RW dan ketua-ketua RT untuk mencari informasi tentang warganya
yang dianggap telah melakukan kenakalan, dengan perspektif labeling.
Dari informasi tersebut data pada tiga RT. Berdasarkan data tersebut kita
jadikan populasi dengan jumlah 40 remaja dan keluarga yang akan dijadikan unit
dalam analisis. Dari jumlah tersebut dibuat listing dan tiap RT diambil 10
sampel (remaja dan keluarga) sehingga mendapat 30 responden. Pengambilan sample
ini dengan cara random.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara
dipandu dengan daftar pertanyaan.
Responden
remaja dalam penelitian ini ditentukan bagi mereka yang berusia 13 tahun-21
tahun. Mengingat pengertian anak dalam Undang-undang no 4 tahun 1979 anak
adalah mereka yang berumur sampai 21 tahun. Dengan pertimbangan pada usia
tersebut, terdapat berbagai masalah dan krisis diantaranya; krisis identitas,
kecanduan narkotik, kenakalan, tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah,
konflik mental dan terlibat kejahatan (lihat transaksi individu-individu dan
keluarga-keluarga dengan sistem kesejahteraan sosial).
BAB
II
KERANGKA
KONSEP
1. Konsep
Kenakalan Remaja
Pada
dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak
sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono
(1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat
sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada
ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai
suatu kelainan dan disebut “kenakalan”. Dalam Bakolak inpres no: 6 / 1977 buku
pedoman 8, dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku /
tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta
ketentuan hukum yang berlaku dalam
masyarakat.
Singgih
D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan
dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu : (1)
kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam
undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran
hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai
dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar
hukum bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985)
membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; (1) kenakalan biasa, seperti
suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit
(2) kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai
mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin (3) kenakalan khusus
seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll.
Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian.
Tentang
normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan
dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985 : 73). Bahwa
perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap
sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of
Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal
karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku
dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam
masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat
pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang
dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja
meninggalkan keresahan pada masyarakat.
2. Keberfungsian
sosial
Istilah
keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan
kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan
tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat
diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi
penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap
individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan
dianggap efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu melaksanakan
tugas-tugasnya, menurut (Achlis, 1992) keberfungsian sosial adalah kemampuan
seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam
situasi social tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan
nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.
Keberfungsian
sosial kelurga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta
adaptasi resprokal antara keluarga dengan anggotannya, dengan lingkungannya,
dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi social secara positif dan
adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika berhasil dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi
terhadap anggota keluarganya.
BAB III
HASIL PENELITAN
A. Bentuk
Kenakalan Yang Dilakukan Responden
Berdasarkan
data di lapangan dapat disajikan hasil penelitian tentang kenakalan remaja
sebagai salah satu perilaku menyimpang hubungannya dengan keberfungsian sosial
keluarga di Kota Makassar . Adapun ukuran yang digunakan untuk mengetahui
kenakalan seperti yang disebutkan dalam kerangka konsep yaitu (1) kenakalan
biasa (2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan dan (3)
Kenakalan Khusus. Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 responden, dengan
jenis kelamin laki-laki 27 responden, dan perempuan 3 responden. Mereka berumur
antara 13 tahun-21 tahun. Terbanyak mereka yang berumur antara 18 tahun-21
tahun.
Bentuk Kenakalan Remaja Yang Dilakukan
Responden (n=30)
Bentuk Kenakalan
|
f
|
%
|
1.
Berbohong
2.
Pergi keluar rumah tanpa pamit
3.
Keluyuran
4.
Begadang
5.
membolos sekolah
6.
Berkelahi dengan teman
7.
Berkelahi antar sekolah
8.
Buang sampah sembarangan
9.
membaca buku porno
10. melihat
gambar porno
11. menontin
film porno
12.
Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM
13.
Kebut-kebutan/mengebut
14.
Minum-minuman keras
15. Kumpul
kebo
16. Hubungan
sex diluar nikah
17. Mencuri
18. Mencopet
19. Menodong
20.
Menggugurkan Kandungan
21.
Memperkosa
22. Berjudi
23.
Menyalahgunakan narkotika
24. Membunuh
|
30
30
28
26
7
17
2
10
5
7
5
21
19
25
5
12
14
8
3
2
1
10
22
1
|
100
100
93,3
98,7
23,3
56,7
6,7
33,3
16,7
23,3
16,7
70,0
63,3
83,3
16,7
40,0
46,7
26,7
10,0
6,7
3,3
33,3
73,3
3,3
|
Bahwa
seluruh responden pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan
biasa seperti berbohong, pergi ke luar rumah tanpa pamit pada orang tuanya,
keluyuran, berkelahi dengan teman, membuang sampah sembarangan dan jenis
kenakalan biasa lainnya. Pada tingkat kenakalan yang menjurus pada pelanggaran
dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan,
mencuri,minum-minuman keras, juga cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan
pada kenakalan khususpun banyak dilakukan oleh responden seperti hubungan seks di
luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta
menggugurkan kandungan walaupun kecil persentasenya. Terdapat cukup banyak dari
mereka yang kumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup memprihatinkan. Kalau hal
ini tidak segera ditanggulangi akan membahayakan baik bagi pelaku, keluarga,
maupun masyarakat. Karena dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari
yang semakin kompleks.
B. Hubungan Antara Variabel Independen dan
Dependen
- Hubungan
antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan
Salah
satu hubungan variabel yang disajikan disini adalah hubungan antara jenis
kelamin dengan tingkat kenakalan. Hal ini untuk mengetahui apakah anak
laki-laki lebih nakal dari anak perempuan atau probalitasnya sama. Berdasarkan
tabel hubungan diperoleh data sebagai berikut; Anak laki-laki yang melakukan
kenakalan biasa 3 responden (10%), kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan 2 responden, dan kenakalan khusus 22 responden
(73,3%). Sedangkan anak perempuan yang melakukan kenakalan biasa 2 responden
(2,7%) dan kenakalan khusus 1 responden (3,3%). Kenyataan tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar yang melakukan kenakalan khusus
adalah anak laki-laki (73,3%), namun terdapat juga anak perempuannya. Kalau
dibandingkan diantara 27 responden anak laki-laki 22 responden (81,5%)
diantaranya melakukan kenakalan khusus, sedangkan dari 3 responden perempuan 1
responden (33,3%) yang melakukan kenakalan khusus, berarti probababilitas
anak laki-laki lebih besar kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus.
Demikian juga yang melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan, anak perempuan tidak ada yang melakukannya. Dengan demikian
maka anak laki-laki kecenderungannya akan melakukan kenakalan yang menjurus
pada pelanggaran dan kejahatan lebih dibandingkan dengan anak perempuan.
b.
Hubungan
antara pekerjaan responden dengan tingkat kenakalan yang dilakukan
Berdasarkan data yang ada, pekerjaan
responden adalah sebagai pelajar dan tidak bekerja (menganggur)
masing-masing 13 responden (43,3%), sebagai buruh dan berdagang
masing-masing 2 responden (6,7%). Dari tabel korelasi persebaran
datanya sebagai berikut; Pelajar yang melakukan kenakalan biasa 5 responden
(16,7%), kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan 2 responden
(6,7%), dan kenakalan khusus 6 responden (20%) . Sedangkan mereka yang
tidak bekerja (menganggur) semuanya 13 responden melakukan kenakalan khusus,
juga mereka yang bekerja sebagai pedagang dan buruh semuanya melakukan
kenakalan khusus. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
kecenderungan untuk melakukan kenakalan khusus ataupun jenis kenakalan lainnya
adalah mereka yang tidak sibuk, atau banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan
untuk kegiatan positif.
C. Hubungan Antara Kenakalan Remaja Dengan
Keberfungsian Sosial Keluarga
Dalam
kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga,
diantaranya adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan
adaptif bagi keluarga yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.
1. Hubungan antara
pekerjaan orang tuanya dengan tingkat kenakalan
Untuk mengetahui apakah kenakalan juga ada hubungannya dengan pekerjaan
orangtuanya, artinya tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena pekerjaan
orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan
keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah
satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan data yang ada mereka
yang pekerjaan oangtuanya sebagai pegawai negeri 5 responden (16,7%), berdagang
4 responden (13,3%), buruh 5 responden (16,6%), tukang kayu 2 responden (6,7%),
montir/sopir 6 responden (20%), wiraswasta 5 responden (16,6%), dan pensiunan 1
responden (3,3%).
7
Dari
tabel korelasi diketahui bahwa kecenderungan anak pegawai negeri walaupun
melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain halnya bagi
mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh, montir/sopir, dan
wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan khusus. Hal ini berarti
pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh
anak-anaknya. Keadan yang demikian karena mungkin bagi pegawai negeri lebih
memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang lebih baik, ataupun
kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-nilai yang disosisalisasikan lebih
efektif. Sedang bagi mereka yang bukan pegawai negeri hanya sibuk mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada
sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat
dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang
kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.
2.
Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan
Secara teoritis keutuhan keluarga dapat
berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak remaja
yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur
keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga
.
Dilihat
dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga utuh, dan 9
responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel korelasi
ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi
anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata
mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan
kenakalan khusus.
Namun
jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa mereka
yang melakukan kenakalan khusus berasal dari keluarga yang interaksinya kurang
dan tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu diketahui bahwa keluarga yang
interaksinya serasi berjumlah 3 responden (10%), sedangkan yang interaksinya
kurang serasi 14 responden (46,7%), dan yang tidak serasi 13 responden (43,3%).
Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi
mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin
tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan
yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus.
3. Hubungan antara kehidupan beragama
keluarganya dengan tingkat
Kenakalan.
Kehidupan
beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian
sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi
rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti
mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis
bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka
anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama.
Berdasarkan data yang ada mereka yang keluarganya taat beragama 6 responden
(20%), kurang taat beragama 15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9
responden (30%). Dari tabel korelasi diketahui 70% dari responden yang
keluarganya kurang dan tidak taat beragama melakukan kenakalan khusus.
Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat
berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti
bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan
anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.
4. Hubungan antara
sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan
Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah
sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter
sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang
memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10
responden (33,4%). Dari tabel korelasi diperoleh data seluruh responden yang
orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan
yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan
khusus. Dari kenyataan tersebut ternyata peranan keluarga dalam
pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak.
5. Hubungan antara
interaksi keluarga dengan lingkungannya dengan tingkat kenakalan
Keluarga
merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus
berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan
tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan
ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses
sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan
lingkungan sosialnya berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden
(40%), dan tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi
keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau
lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada
tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat dilihat
dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari
dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.
6. Pernah tidaknya responden ditahan dan
dihukum hubungannya dengan keutuhan struktur dan interaksi keluarga,
serta ketaatan keluarga dalam menjalankan kewajiban beragama
Data
tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden, dari jumlah
tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-masing 1 responden
(6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan, 5 responden (33,3%) karena
kasus obat terlarang (narkotika) dan 8 responden (53,3%) karena kasus
pencurian.
Sedangkan responden yang pernah dihukum penjara berjumlah 10
responden dengan rincian 7 responden karena kasus pencurian, masing-masing 1
responden karena ksus pengeroyokan, pembunuhan, dan narkotika. Adapun lamanya
mereka dihukum antara 1 bulan-3 tahun, dengan rincian sebagai berikut 4 responden
(40%) dihukum penjara selama 1 bulan, 3 responden (30%) dihukum 3 bulan,
masing-masing 1 responden (10%) dihukum 7 bulan, 2 tahun, dan 3 tahun . Dari
responden yang pernah ditahan dan di hukum semuanya dari keluarga yang struktur
keluarganya utuh, tetapi interaksinya kurang dan tidak serasi. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah interaksi dalam keluarga merupakan sebab utama
seorang remaja sampai ditahan dan dihukum penjara. Sedangkan dari sudut
ketaatan dalam menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya masih terdapat 1
responden yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus pencurian. Artinya bahwa
ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin anaknya bebas dari kenakalan
dan ditahan serta dihukum.
D. Analisis Hubungan Antara Keberfungsian
Sosial Keluarga dengan Kenakalan Remaja
Setelah dianalisis secara bivariat
antara beberapa variabel, maka untuk melengkapinya dianalisis secara statistik
dengan rumus product moment guna melihat keeratan hubungan tersebut.
Berdasarkan tabel distribusi koefisiensi korelasi product moment diperoleh data
sebagai berikut; nilai x = 510 y = 322 x2 = 9.010
y2 = 3.752 xy = 5.283 hasil
perhitungan yang diperoleh = - 0,6022. Sedang nilai r yang diperoleh dalam
tabel dengan taraf significansi 5%, dengan sampel 30 adalah 0,361
Berdasarkan data tersebut karena nilai r yang diperoleh dari hasil penelitian
jauh dari batas significansi nilai r yang diperolehnya berarti ada
hubungan negative antara keberfungsian keluarga dengan kenakalan remaja yang
dilakukan. Artinya semakin tinggi tingkat berfungsi sosial keluarga, akan
semakin rendah tingkat kenakalan remajanya, demikian sebaliknya semakin rendah
keberfungsian sosial keluarga maka akan semakin tinggi tingkat kenakalan
remajanya.
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa secara jenis kelamin terlihat remja pria
lebih cenderung melakukan kenakalan pada tinglat khusus, walaupun demilikan
juga remaja perempuan yang melakukan kenakalan khusus. Dari sudut pekerjaan
atau kegiatan sehari-hari remaja ternyata yang menganggur mempunyai
kecenderungan tinggi melakukan kenakalan khusus demikian juga mereka yang
berdagang dan menjadi buruh juga tinggi kecenderungannya untuk melakukan
kenakalan khusus. Pemenuhan kebutuhan keluarga juga berpengaruh pada tingkat
kenakalan remajanya, artinya bagi keluarga yang tiap hari hanya berpikir untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya seperti yang orang tuanya bekerja sebagai buruh,
tukang, supir dan sejenisnya ternyata anaknya kebanyakan melakukan kenakalan khusus.
Demilian juga bagi keluarga yang interaksi sosialnya kurang dan tidak serasi
anak-anaknya melakukan kenakalan khusus. Kehidupan beragama keluarga juga
berpengaruh kepada tingkat kenakalan remajanya, artinya dari keluarga yang taat
menjalankan agama anak-anaknya hanya melakukan kenakalan biasa, tetapi bagi
keluarga yang kurang dan tidak taat menjalankan ibadahnya anak-anak mereka pada
umumnya melakukan kenakalan khusus.Hal lain yang dapat dilihat bahwa sikap
orang orang tua dalam sosialisasi terhadap anaknya juga sangat berpengaruh
terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan, dari data yang diperoleh bagi
keluarga yang kurang dan masa bodoh dalam pendidikan (baca sosialisasi)
terhadap anaknya maka umumnya anak mereka melakukan kenakalan khusus. Dan akhirnya
keserasian hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya juga
berpengaruh pada kenakalan anak-anak mereka. Mereka yang hubungan sosialnya
dengan lingkungan serasi anak-anaknya walaupun melakukan kenakalan tetapi pada
tingkat kenakalan biasa, tetapi mereka yang kurang dan tidak serasi hubungan
sosialnya dengan lingkungan anak-anaknya melakukan kenakalan
khusus.
Kesimpulan
Berdasarkan
analisis di atas, ditemukan bahwa remaja yang memiliki waktu luang banyak
seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih pelajar
kemungkinannya lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku menyimpang.
Demikian juga dari keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya rendah maka
kemungkinan besar anaknya akan melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih
berat.Sebaliknya bagi keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya tinggi maka
kemungkinan anak-anaknya melakukan kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan
khusus. Dari analisis statistik (kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik
kesimpulan umum bahwa ada hubungan negatif antara keberfungsian sosial
keluarga dengan kenakalan remaja, artinya bahwa semakin tinggi keberfungsian
social keluarga akan semakin rendah kenakalan yang dilakukan oleh remaja.
Sebaliknya semakin ketidak berfungsian sosial suatu keluarga maka semakin
tinggi tingkat kenakalan remajanya (perilaku menyimpang yang dilakukanoleh
remaja. Berdasarkan kenyataan di atas, maka untuk memperkecil tingkat kenakalan
remaja ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan keberfungsian
sosial keluarga melalui program-program kesejahteraan sosial yang berorientasi
pada keluarga dan pembangunan social yang programnya sangat berguna bagi
pengembangan masyarakat secara keseluuruhan Di samping itu untuk memperkecil
perilaku menyimpang remaja dengan memberikan program-program untuk mengisi
waktu luang, dengan meningkatkan program di tiap karang taruna. Program ini
terutama diarahkan pada peningkatan sumber daya manusianya yaitu program
pelatihan yang mampu bersaing dalam pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan.